Category

Loading

Kategori

Tuesday, July 26, 2011

Legenda Lutung Kasarung

Lutung Kasarung (artinya Lutung yang Tersesat) adalah legenda masyarakat Sunda yang menceritakan tentang perjalanan Sanghyang Guruminda dari Kahyangan yang diturunkan ke Buana Panca Tengah (Bumi) dalam wujud seekor lutung (sejenis monyet). Dalam perjalanannya di Bumi, sang lutung bertemu dengan putri Purbasari Ayuwangi yang diusir oleh saudaranya yang pendengki, Purbararang. Lutung Kasarung adalah seekor mahkluk yang buruk rupa. Pada akhirnya ia berubah menjadi pangeran dan mengawini Purbasari, dan mereka memerintah Kerajaan Pasir Batang dan Kerajaan Cupu Mandala Ayu bersama-sama.
Legenda Lutung Kasarung

Prabu Tapa Agung menunjuk Purbasari, putri bungsunya sebagai pengganti. "Aku sudah terlaalu tua, saatnya aku turun tahta," kata Prabu Tapa.
Purbasari memiliki kakak yang bernama Purbararang. Ia tidak setuju adiknya diangkat menggantikan Ayah mereka. "Aku putri Sulung, seharusnya ayahanda memilih aku sebagai penggantinya," gerutu Purbararang pada tunangannya yang bernama Indrajaya. Kegeramannya yang sudah memuncak membuatnya mempunyai niat mencelakakan adiknya. Ia menemui seorang nenek sihir untuk memanterai Purbasari. Nenek sihir itu memanterai Purbasari sehingga saat itu juga tiba-tiba kulit Purbasari menjadi bertotol-totol hitam. Purbararang jadi punya alasan untuk mengusir adiknya tersebut. "Orang yang dikutuk seperti dia tidak pantas menjadi seorang Ratu !" ujar Purbararang.
Kemudian ia menyuruh seorang Patih untuk mengasingkan Purbasari ke hutan. Sesampai di hutan patih tersebut masih berbaik hati dengan membuatkan sebuah pondok untuk Purbasari. Ia pun menasehati Purbasari, "Tabahlah Tuan Putri. Cobaan ini pasti akan berakhir, Yang Maha Kuasa pasti akan selalu bersama Putri". "Terima kasih paman", ujar Purbasari.
{mosimage}Selama di hutan ia mempunyai banyak teman yaitu hewan-hewan yang selalu baik kepadanya. Diantara hewan tersebut ada seekor kera berbulu hitam yang misterius. Tetapi kera tersebut yang paling perhatian kepada Purbasari. Lutung kasarung selalu menggembirakan Purbasari dengan mengambilkan bunga bunga yang indah serta buah-buahan bersama teman-temannya.
Pada saat malam bulan purnama, Lutung Kasarung bersikap aneh. Ia berjalan ke tempat yang sepi lalu bersemedi. Ia sedang memohon sesuatu kepada Dewata. Ini membuktikan bahwa Lutung Kasarung bukan makhluk biasa. Tidak lama kemudian, tanah di dekat Lutung merekah dan terciptalah sebuah telaga kecil, airnya jernih sekali. Airnya mengandung obat yang sangat harum.
{mosimage}Keesokan harinya Lutung Kasarung menemui Purbasari dan memintanya untuk mandi di telaga tersebut. "Apa manfaatnya bagiku ?", pikir Purbasari. Tapi ia mau menurutinya. Tak lama setelah ia menceburkan dirinya. Sesuatu terjadi pada kulitnya. Kulitnya menjadi bersih seperti semula dan ia menjadi cantik kembali. Purbasari sangat terkejut dan gembira ketika ia bercermin ditelaga tersebut.
{mosimage}Di istana, Purbararang memutuskan untuk melihat adiknya di hutan. Ia pergi bersama tunangannya dan para pengawal. Ketika sampai di hutan, ia akhirnya bertemu dengan adiknya dan saling berpandangan. Purbararang tak percaya melihat adiknya kembali seperti semula. Purbararang tidak mau kehilangan muka, ia mengajak Purbasari adu panjang rambut. "Siapa yang paling panjang rambutnya dialah yang menang !", kata Purbararang. Awalnya Purbasari tidak mau, tetapi karena terus didesak ia meladeni kakaknya. Ternyata rambut Purbasari lebih panjang.
"Baiklah aku kalah, tapi sekarang ayo kita adu tampan tunangan kita, Ini tunanganku", kata Purbararang sambil mendekat kepada Indrajaya. Purbasari mulai gelisah dan kebingungan. Akhirnya ia melirik serta menarik tangan Lutung Kasarung. Lutung Kasarung melonjak-lonjak seakan-akan menenangkan Purbasari. Purbararang tertawa terbahak-bahak, "Jadi monyet itu tunanganmu ?".
{mosimage}Pada saat itu juga Lutung Kasarung segera bersemedi. Tiba-tiba terjadi suatu keajaiban. Lutung Kasarung berubah menjadi seorang Pemuda gagah berwajah sangat tampan, lebih dari Indrajaya. Semua terkejut melihat kejadian itu seraya bersorak gembira. Purbararang akhirnya mengakui kekalahannya dan kesalahannya selama ini. Ia memohon maaf kepada adiknya dan memohon untuk tidak dihukum. Purbasari yang baik hati memaafkan mereka. Setelah kejadian itu akhirnya mereka semua kembali ke Istana.
Purbasari menjadi seorang ratu, didampingi oleh seorang pemuda idamannya. Pemuda yang ternyata selama ini selalu mendampinginya dihutan dalam wujud seekor lutung.
Sumber:http://www.e-smartschool.com
Film Lutung Kasarung:
Loetoeng Kasaroeng adalah film pertama yang diproduksi di Indonesia. Film bisu ini dirilis pada tahun 1927 oleh NV Java Film Company. Disutradarai oleh dua orang Belanda, G. Kruger dan L. Heuveldorp dan dibintangi oleh aktor-aktris pribumi, pemutaran perdananya di kota Bandung berlangsung dari tanggal 31 Desember 1926 sampai 6 Januari 1927 di dua bioskop terkenal Elite dan Oriental Bioscoop (Majestic).
Cuplikan Article Tentang Refleksi Kebudayaan di Tengah ”Dunia yang Berlari”

Jika mencermati krisis kebudayaan kita, yang sebenarnya dihasilkan oleh jenis rasio model Odysses, maka penggunaan simbol Odysses kuranglah tepat. Jawaban-jawaban pragmatis, praktis, dan metodis sudah terbukti tidaklah berhasil menyelesaikan masalah. Seperti dikemukakan Einstein "apa yang menyebabkan masalah, tak bisa digunakan untuk menyelesaikan masalah". Kita memerlukan rasio yang sanggup meladeni dunia yang terus berlari ini. Yang bisa tetap kritis sambil bertahan pada pegangan tertentu.
Kenapa Saini tak menggunakan tokoh Mundinglaya Dikusuma atau Lutung Kasarung yang juga sama-sama menawarkan kisah "Setiap kali ia mengatasi suatu masalah, muncul masalah baru. Kalau masalah baru dipecahkannya, muncul lagi masalah yang lain"? Lutung Kasarung menampilkan cara menjawab yang berbeda, ia tidak sekadar menyelesaikan masalah untuk menimbulkan masalah sampai tak terbatas, infitum. Ada akhir dan ada rujukan "langit" yang ia gunakan. Pada kisah pantun ini kita menemukan sebuah cara yang seperti "menerobos ke dalam sebab-sebab umum di luar sebab-sebab khusus", Lutung Kasarung juga seperti berupaya mentransendensi semua metode yang lazim saat itu.
Pada kisah Lutung Kasarung kita menemukan kesadaran akan kodrat tropisme, bukan kodrat keperkasaan macam Odysses yang justru seluruh pengalamannya merupakan kutukan atas keperkasaannya. Tropisme atau kerinduan akan cahaya, kepada sinar yang memendam isyarat, kepada matahari yang melintas ke arah finalitas, semua hal; dan kepada matahari yang terbit dari asal hal-hal itu. Jawaban model Lutung Kasarung mengarahkan kita ke sumber dan ke tujuan dan bersembunyi di bawah tepian dunia. Dalam banyak hal model Lutung Kasarung memiliki ciri yang mirip dengan rasio spekulatif yang "membawa kebaruan imajinatif yang tetap relevan namun sekaligus mengungguli cara-cara tradisional".
Melalui model jawaban Lutung Kasarung saya membayangkan adanya pertalian mendalam antara daya kritis dengan Kesadaran Religius. Kesadaran yang mengandaikan kemampuan mengambil jarak dengan lingkungan sosial sekaligus kemampuan untuk menemukan hal-hal permanen dan masuk akal dalam sejarah dan dalam dunia, yang bisa dipakai untuk menafsirkan detil-detil langsung yang centang perentang. Melalui daya kritis dan kesadaran religius ini kita dapat menemukan titik buta atau sementara dari metode yang selama ini kita gunakan dalam menyusun kebudayaan, sekaligus titik terang yang bisa dikembangkan bagi dunia masa depan. Dengan cara ini pula, kritik tidak menghabisi semua hal, justru menggunakan bahan yang ada bagi pengembangan masa depan. Whitehead dalam Symbolism Its Meaning and Effect menyatakan, "Masyarakat-masyarakat yang tak bisa memadukan rasa hormat kepada lambang-lambangnya dengan kebebasan untuk merevisi, pada akhirnya pasti akan hancur, mungkin karena anarki, bisa juga karena penyusutan perlahan-lahan dari hidup yang tercekik oleh bayang-bayang yang tiada guna".
Implikasinya adalah munculnya alternatif dalam bentuk pola pikir baru dalam memandang dunia kehidupan. Alternatif penyelesaian bukan hanya reformulasi sejumlah institusi lama yang sudah ada. Saya percaya, Saini KM sebenarnya memiliki jawaban model Lutung Kasarung. Karena saya yakin ia juga sedang menggunakan model ini ketika ia mengajukan pernyataan, "keberagamaan yang sejati (autentik) tidak mungkin sejati tanpa membumi dan menyejarah, dengan kata lain membudaya. Ini membawa akibat (implikasi) lain, yaitu bahwa keberagamaan yang sejati (autentik) adalah keberagamaan yang kreatif. Artinya, keberagamaan yang senantiasa terbuka kepada perubahan (ruang dan waktu) dan senantiasa berupaya menyesuaikan diri kepada perubahan tanpa kehilangan hakikat religiusnya, yaitu aspirasi spiritualnya". Kutipan ini membuktikan keinginannya untuk tetap kritis sambil tetap bertahan. Walaupun demikian, saya pribadi tak memahami kata "menyesuaikan diri" dalam kutipan ini. Kata "menyesuaikan" terkesan metodis dan pragmatis padahal kita membutuhkan lebih dari pragmatis, bahkan jenis ikan tertentu berupaya melawan arus sungai agar ia dapat memperpanjang generasinya.
Ala Kulli Hal, refleksi kebudayaan Saini KM memberikan kesegaran tertentu bagi saya. Semua pembacaan ini bisa jadi, dan sangat mungkin, berasal dari kedhaifan saya membaca hal ihwal tulisan Saini KM. Karena dalam tradisi Sunda ada sejumlah syarat pembacaan: nu apal ka basana, weruh ka semuna, rancage hatena, dan rancingas hatena. Saya pastilah tak tahu basa, apalagi memahami semu; saya juga bukan orang yang memiliki hate yang rancage, apalagi rasa yang rancingas.***

Oleh BAMBANG Q-ANEES, Pikiran Rakyat

0 Tanggapan:

Post a Comment

Comments

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More